A. PERTUMBUHAN EKONOMI DIY YOGYAKARTA
Perkembangan
perekonomian DIY dalam beberapa tahun terakhir pada kondisi tren yang masih
lesu. Hal ini merupakan dampak perekonomian nasional yang sedang menurun akibat
faktor eksternal krisis global yang disebabkan pengaruh besar dari krisis Cina
Tiongkok. Berdasarkan kajian Analisis PDRB BPS-Bappeda DIY (2016), Meskipun
demikian dalam periode 2011-2015 secara absolut Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) DIY terus meningkat dari tahun ke tahun (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta,
2016).
Gambaran
perekonomian DIY dapat dilihat dari sisi PDRB DIY baik berdasarkan harga
berlaku maupun atas dasar harga konstan 2010. Pada tahun 2011 PDRB DIY sebesar
Rp71,37 triliun (atas dasar harga berlaku), meningkat menjadi Rp101,4 triliun
pada tahun 2015. Pada sisi harga konstan, PDRB DIY juga naik, dari Rp68,05
triliun menjadi Rp83,46 triliun. Peningkatan tersebut juga diikuti oleh
peningkatan PDRB per kapita. Berdasar harga berlaku, PDRB per kapita DIY
meningkat dari Rp20,33 juta per tahun menjadi Rp27,56 juta per tahun, sedangkan
berdasar pada harga konstan, PDRB per kapita naik dari Rp19,39 juta per tahun
menjadi Rp22,68 juta per tahun. Selama periode tersebut, ekonomi DIY tumbuh
rata-rata 5,24 per-sen per tahun. Sementara itu PDRB per kapita dalam periode
tersebut tumbuh pada kisaran 3,74 persen sampai dengan 4,11 persen.
Berdasar
pada kondisi tersebut, perekonomian DIY perlu didorong untuk tumbuh lebih pesat
lagi setidaknya hingga dapat melewati kondisi rata-rata perekonomian nasional.
Bila pada tahun-tahun sebelumnya DIY berada di bawah rata-rata nasional, di
tahun 2014-2015 pertumbuhan ekonomi DIY meskipun melambat yaitu hanya tumbuh
5,16 persen dan 4,94 persen, namun masih lebih tinggi 28 Analisis Pertumbuhan
Ekonomi Inklusif DIY, 2011-2015 dibanding rata-rata nasional yang hanya tumbuh
5,02 persen dan 4,79 persen.
Potensi
ekonomi daerah dari segi potensi kategorial dapat juga dilihat dari pangsa
distribusi yang dikaitkan dengan pertumbuhannya. Kategori jasa pendidikan
mempunyai potensi paling kuat karena disamping mempunyai kontribusi yang cukup
besar tampak bahwa pertumbuhannya juga termasuk tinggi. Kategori yang mempunyai
level potensi yang hampir sama adalah perdagangan dan reparasi mobil dan sepeda
motor, kemudian diikuti kategori real estat.
Kondisi
ekonomi akan selalu mempunyai hubungan timbal balik dengan kondisi sosial.
Selama periode 2011-2015, angka beban tanggungan (dependency ratio - DR)
mempunyai tren menurun meskipun tidak terlalu nyata. Hal ini mengindikasikan
bahwa beban tanggungan kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun) terhadap
penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) telah semakin
berkurang.
Pada
sisi ketenagakerjaan, pada periode tersebut memang jumlah pengangguran tidak
mengalami penurunan secara nyata, namun angka pengangguran di DIY sudah relatif
rendah. Pada tahun 2011 angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 3,97
persen, di tahun 2013 menjadi 3,24 persen meskipun naik lagi menjadi 4,07
persen pada tahun 2015. Dilihat tingkat pendidikannya, persentase pengangguran
terbesar dari kelompok usia dengan pendidikan menengah ke atas. Angka TPT tahun
2015 yang 4,07 persen tersebut, pengangguran dengan tingkat pendidikan menengah
ke atas sekitar 3,02 persen. Artinya, pengangguran di DIY lebih didominasi oleh
mereka yang mempunyai tingkat pendidikan menengah ke atas.
Rata-rata
pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,24 persen per tahun ternyata belum banyak
mendorong tumbuhnya kesempatan kerja. Rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja
masih tumbuh di bawah 1 persen per tahun. Namun demikian, oleh karena
penyerapan tenaga kerja didominasi pada kategori usaha yang padat modal, yaitu
pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa maka untuk menelusuri kualitas
pertumbuhan lebih mendalam perlu dilihat pertumbuhan dan kinerja masing-masing
lapangan usaha.
Pertumbuhan
ekonomi DIY dilihat dampaknya pada pengurangan kemiskinan telah memberikan
hasil yang cukup nyata. Pada tahun 2011 persentase penduduk miskin DIY masih
16,08 persen. Selama empat tahun kemudian penduduk miskin telah berkurang
menjadi 13,16 persen. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Inklusif DIY, 2011-2015 29
Meskipun bila dibandingkan secara nasional angka kemiskinan DIY masih relatif
tinggi, namun pengurangan angka kemiskinan dalam lima tahun terakhir yang
sebesar 2,92 poin tersebut merupakan prestasi nyata yang membanggakan dari
kebijakan dan program pengentasan kemiskinan.
PDRB
per kapita per tahun yang menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, ternyata
belum diimbangi oleh pemerataan distribusi pendapatan penduduk. Hal ini
tercermin dari angka Rasio Gini DIY yang masih pada kisaran 0,42 sampai dengan
0,43 selama periode tersebut. Demikian pula persentase pendapatan yang diterima
oleh 40 persen penduduk berpendapatan terrendah terlihat cenderung menurun.
Pada tahun 2011 golongan penduduk tersebut masih menikmati porsi “kue ekonomi”
DIY sekitar 16,46 persen, namun pada tahun-tahun berikutnya bagian “kue
ekonomi” untuk golongan ini porsinya turun menjadi 15,67 persen di tahun 2015.
Sementara
itu indikator ketimpangan regional yang dilihat dengan menggunakan Indeks
Williamson, angka ketimpangannya pada skala moderat namun di tepi atas. Pada
tahun 2011, Indeks Williamson sebesar 0,48, sedikit turun menjadi 0,47 di tahun
2015. Hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan pembangunan antarkabupaten/kota di
DIY masih terjadi kesenjangan.
Dengan
demikian ciri pertumbuhan ekonomi DIY ternyata mampu berperan menekan penurunan
kemiskinan dan angka pengangguran. Bahkan ketika pertumbuhan melambat, secara
bersamaan angka pengangguran ikut terdorong meningkat. Namun lain halnya dengan
kemiskinan karena meskipun pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan persentase
penduduk miskin masih mampu konsisten semakin menurun. Hal ini dimungkinkan
terjadi bahwa dampak melambatnya perekonomian tidak langsung dirasakan pada periode
yang bersamaan tetapi jeda pada beberapa periode berikutnya. Pertumbuhan
ekonomi juga belum banyak berperan mendorong peluang kesempatan kerja secara
merata di sektor-sektor ekonomi. Sementara itu terhadap tren pengurangan angka
ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh angka Rasio Gini dan juga angka
ketimpangan antarwilayah dengan menggunakan Indeks Wiliamson, naik turunnya
capaian pertumbuhan ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan
pengurangan angka ketimpangan pendapatan dan ketimpangan antarwilayah. Dengan
kondisi demikian maka pertumbuhan ekonomi DIY masih perlu ditingkatkan
kualitasnya.
(Pertumbuhan
Ekonomi, Persentase Kemiskinan, dan TPT di DIY, 2011-2015)
Dalam
perspektif pengukuran kualitas pertumbuhan ekonomi, selain dengan melihat
capaian indikator ekonomi sosial pada bahasan subbab 4.1 tersebut di atas,
ukuran kualitas pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dari Inklusif Growth Index
(IGI). Nilai indeks IGI DIY disajikan selama lima tahun (2011-2015) pada Tabel
mencakup besaran penimbang yang digunakan, skor, dan indeks IGI pada setiap
sub-dimensi.
Penyajian
5 tahun ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar perkembangan kualitas
pertumbuhan ekonomi yang dicapai setiap tahunnya, sekaligus untuk mengevaluasi
kinerja dari masing-masing dimensi. Langkah evaluasi ini penting untuk
mengetahui dimensi manakah yang mengalami peningkatan antartahun atau
sebaliknya. Pada setiap dimensi, selanjutnya dapat dievaluasi menurut
sub-dimensi dan indikator-indikator pembentuknya, sehingga hasil evaluasi
tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan
ekonomi, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota.
Secara
umum, kualitas pertumbuhan ekonomi DIY telah memuaskan selama lima tahun
periode kajian, dan tingkat kepuasan tersebut cenderung mengalami peningkatan.
Pada tahun 2011 tingkat kepuasan sebesar 6,20, naik terus menjadi 6,45 pada
tahun 2014 meskipun di tahun 2015 sedikit lebih rendah menjadi 6,35. Makna
indeks tersebut merujuk pada pendapat Ali dan Zhuong (2007) tentang konsepsi
inclusive growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada penciptaan
peluang ekonomi dan memastikan diakses oleh semua. Peluang ekonomi terwujudkan
dengan meningkatnya pertumbuhan sektor tradeable (pertanian, pertambangan, dan
industri pengolahan). Sementara akses masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi
terindikasikan bahwa tidak ada jurang kesenjangan pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi di masyarakat.
Peningkatan
kepuasan tahun 2013 relatif tinggi dibanding tahun lainnya, yakni sebesar 1,34
persen dibanding tahun 2012. Hal ini didukung oleh peningkatan kepuasan 7
(tujuh) sub-dimensi, sedangkan sub-dimensi yang perkembangannya mengalami
penurunan adalah kesetaraan gender, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Sub-dimensi kemiskinan dan ketimpangan pada tahun 2013 juga tumbuh relatif
tinggi, yaitu masing-masing 9,32 persen dan 8,47 persen. Sub-dimensi kesetaraan
gender, pendidikan dan perlindungan sosial mengalami penurunan kepuasan
masing-masing sebesar 0,35 persen, 0,7 persen dan 4,14 persen.
Sementara
itu, di tahun 2015 IGI DIY mengalami kontraksi sebesar 1,57 persen. Hal ini
lebih diakibatkan oleh pertumbuhan negatif yang terjadi pada 6 (enam)
sub-dimensi, yaitu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja produktif, ketimpangan
pendapatan, kesetaraan gender, kesehatan, dan perlindungan sosial. Oleh karena
penimbang sub-dimensi pertumbuhan ekonomi paling besar, maka perubahan yang
terjadi pada sub-dimensi ini juga berpengaruh besar pada perubahan indeks IGI.
Selain itu sub-dimensi pendidikan mengalami pertumbuhan yang stagnan (kurang
dari satu persen), yaitu sebesar 0,43 persen. Pertumbuhan yang relatif tinggi
pada sub-dimensi infrastruktur ekonomi dan pengurangan kemiskinan tidak mampu
menahan laju turunnya kualitas kepuasan pertumbuhan ekonomi tahun 2015.
Penurunan indeks kepuasan paling parah terjadi pada sub-dimensi perlindungan
sosial yaitu indeksnya mengalami kontraksi sebesar 18 persen dibanding tahun
2014. Hal ini ternyata disebabkan oleh menurunnya alokasi jumlah rumah tangga penerima
raskin dari 46,12 persen di tahun 2014 menjadi hanya 39,96 persen di tahun
2015, dan ini juga berdampak pada rata-rata jumlah raskin yang diterima per
bulan oleh rumah tangga juga menurun.
Meskipun
IGI DIY tahun 2015 mengalami kontraksi, namun beberapa sub-dimensi mengalami
pertumbuhan mengesankan. Pertumbuhan terbesar terjadi pada sub-dimensi
kemiskinan, yaitu 13,3 persen. Sub-dimensi infrastruktur ekonomi juga tumbuh di
atas 9 persen. Sub-dimensi air dan sanitasi air juga tumbuh positif meskipun hanya
3,6 persen. Untuk mengetahui penyebab tinggi atau rendahnya capaian kepuasan
pada suatu dimensi, perlu dikaji lebih mendalam capaian pada masing-masing
sub-dimensi beserta indikator-indikator di dalamnya. Kajian di sini dilakukan
pada setiap dimensi dengan berfokus pada perkembangan capaian masing-masing
sub-dimensi dan indikator selama periode 2011 sampai dengan 2015.
(Sub-dimensi, Indikator, Nilai Skor, dan
Capaian Nilai Pembentuk IGI, 2011-2015)
(Sub-dimensi, Indikator, Nilai Skor, dan
Capaian Nilai Pembentuk IGI, 2011-2015)
(Indeks IGI Provinsi DIY, 2011-2015)
A. KESIMPULAN
1. Kualitas pertumbuhan
ekonomi DIY masih perlu ditingkatkan terutama dalam upaya program pengurangan
kesenjangan distribusi pendapatan dan juga kesenjangan pendapatan antarkabupaten/kota.
2. Pertumbuhan ekonomi
relatif selaras dengan pengurangan kemiskinan dan pengangguran, kesetaraan
gender, kualitas kesehatan, dan kualitas pendidikan, dan kemudahan akses air
dan sanitasi. Namun demikian program perlindungan sosial belum menemukan model
yang tepat untuk menjangkau sasaran.
3. Pertumbuhan ekonomi
DIY memuaskan tetapi belum inklusif. Hal ini terjadi antara lain disebabkan
oleh belum dibarengi oleh penurunan yang nyata kesenjangan distribusi
pendapatan serta belum meratanya distribusi pendapatan antarkabupaten/kota,
share pendapatan 60 persen terrendah dari populasi penduduk masih rendah (di
bawah 30 persen), belum adanya peningkatan yang signifikan share sektor
industri, jasa, dan pertanian, peningkatan share tenaga kerja industri juga
belum signifikan, dan share tenaga kerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga
tidak dibayar juga belum menunjukkan peningkatan yang nyata.
4. Pertumbuhan inklusif
DIY memuaskan namun masih pada level menengah, sehingga berdasarkan hasil
kajian BPS RI tahun 2013 capaian D.I. Yogyakarta ini kurang menggembirakan
dengan berada pada posisi terbawah kedua, hanya di atas DKI Jakarta di antara
provinsi lain se-Pulau Jawa.
5. Tujuan pembangunan
ekonomi pada hakekatnya tidak hanya mencapai pertumbuhan yang tinggi tetapi
juga bagaimana pertumbuhan yang tinggi tersebut dapat merata pada seluruh
wilayah kabupaten/kota di DIY. Pertumbuhan inklusif semua kabupaten/kota
memuaskan namun kurang merata karena IGI yang dicapai pada kisaran angka
5,56-6,70 (tahun 2015).
Kelompok 11 :
1.
Bayu Irawan (21216357)
2.
Ira Murni Agilvi (23216568)
3.
Sahira Almas Tovani (26216766)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar