Minggu, 16 April 2017

Perekonomian Yogyakarta


A.  PERTUMBUHAN EKONOMI DIY YOGYAKARTA
 
Perkembangan perekonomian DIY dalam beberapa tahun terakhir pada kondisi tren yang masih lesu. Hal ini merupakan dampak perekonomian nasional yang sedang menurun akibat faktor eksternal krisis global yang disebabkan pengaruh besar dari krisis Cina Tiongkok. Berdasarkan kajian Analisis PDRB BPS-Bappeda DIY (2016), Meskipun demikian dalam periode 2011-2015 secara absolut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY terus meningkat dari tahun ke tahun (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2016). 

Gambaran perekonomian DIY dapat dilihat dari sisi PDRB DIY baik berdasarkan harga berlaku maupun atas dasar harga konstan 2010. Pada tahun 2011 PDRB DIY sebesar Rp71,37 triliun (atas dasar harga berlaku), meningkat menjadi Rp101,4 triliun pada tahun 2015. Pada sisi harga konstan, PDRB DIY juga naik, dari Rp68,05 triliun menjadi Rp83,46 triliun. Peningkatan tersebut juga diikuti oleh peningkatan PDRB per kapita. Berdasar harga berlaku, PDRB per kapita DIY meningkat dari Rp20,33 juta per tahun menjadi Rp27,56 juta per tahun, sedangkan berdasar pada harga konstan, PDRB per kapita naik dari Rp19,39 juta per tahun menjadi Rp22,68 juta per tahun. Selama periode tersebut, ekonomi DIY tumbuh rata-rata 5,24 per-sen per tahun. Sementara itu PDRB per kapita dalam periode tersebut tumbuh pada kisaran 3,74 persen sampai dengan 4,11 persen.

Berdasar pada kondisi tersebut, perekonomian DIY perlu didorong untuk tumbuh lebih pesat lagi setidaknya hingga dapat melewati kondisi rata-rata perekonomian nasional. Bila pada tahun-tahun sebelumnya DIY berada di bawah rata-rata nasional, di tahun 2014-2015 pertumbuhan ekonomi DIY meskipun melambat yaitu hanya tumbuh 5,16 persen dan 4,94 persen, namun masih lebih tinggi 28 Analisis Pertumbuhan Ekonomi Inklusif DIY, 2011-2015 dibanding rata-rata nasional yang hanya tumbuh 5,02 persen dan 4,79 persen.

Potensi ekonomi daerah dari segi potensi kategorial dapat juga dilihat dari pangsa distribusi yang dikaitkan dengan pertumbuhannya. Kategori jasa pendidikan mempunyai potensi paling kuat karena disamping mempunyai kontribusi yang cukup besar tampak bahwa pertumbuhannya juga termasuk tinggi. Kategori yang mempunyai level potensi yang hampir sama adalah perdagangan dan reparasi mobil dan sepeda motor, kemudian diikuti kategori real estat.

 

Kondisi ekonomi akan selalu mempunyai hubungan timbal balik dengan kondisi sosial. Selama periode 2011-2015, angka beban tanggungan (dependency ratio - DR) mempunyai tren menurun meskipun tidak terlalu nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa beban tanggungan kelompok penduduk usia produktif (15-64 tahun) terhadap penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) telah semakin berkurang.

Pada sisi ketenagakerjaan, pada periode tersebut memang jumlah pengangguran tidak mengalami penurunan secara nyata, namun angka pengangguran di DIY sudah relatif rendah. Pada tahun 2011 angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 3,97 persen, di tahun 2013 menjadi 3,24 persen meskipun naik lagi menjadi 4,07 persen pada tahun 2015. Dilihat tingkat pendidikannya, persentase pengangguran terbesar dari kelompok usia dengan pendidikan menengah ke atas. Angka TPT tahun 2015 yang 4,07 persen tersebut, pengangguran dengan tingkat pendidikan menengah ke atas sekitar 3,02 persen. Artinya, pengangguran di DIY lebih didominasi oleh mereka yang mempunyai tingkat pendidikan menengah ke atas.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,24 persen per tahun ternyata belum banyak mendorong tumbuhnya kesempatan kerja. Rata-rata pertumbuhan kesempatan kerja masih tumbuh di bawah 1 persen per tahun. Namun demikian, oleh karena penyerapan tenaga kerja didominasi pada kategori usaha yang padat modal, yaitu pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa maka untuk menelusuri kualitas pertumbuhan lebih mendalam perlu dilihat pertumbuhan dan kinerja masing-masing lapangan usaha.

Pertumbuhan ekonomi DIY dilihat dampaknya pada pengurangan kemiskinan telah memberikan hasil yang cukup nyata. Pada tahun 2011 persentase penduduk miskin DIY masih 16,08 persen. Selama empat tahun kemudian penduduk miskin telah berkurang menjadi 13,16 persen. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Inklusif DIY, 2011-2015 29 Meskipun bila dibandingkan secara nasional angka kemiskinan DIY masih relatif tinggi, namun pengurangan angka kemiskinan dalam lima tahun terakhir yang sebesar 2,92 poin tersebut merupakan prestasi nyata yang membanggakan dari kebijakan dan program pengentasan kemiskinan.

PDRB per kapita per tahun yang menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, ternyata belum diimbangi oleh pemerataan distribusi pendapatan penduduk. Hal ini tercermin dari angka Rasio Gini DIY yang masih pada kisaran 0,42 sampai dengan 0,43 selama periode tersebut. Demikian pula persentase pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk berpendapatan terrendah terlihat cenderung menurun. Pada tahun 2011 golongan penduduk tersebut masih menikmati porsi “kue ekonomi” DIY sekitar 16,46 persen, namun pada tahun-tahun berikutnya bagian “kue ekonomi” untuk golongan ini porsinya turun menjadi 15,67 persen di tahun 2015.

Sementara itu indikator ketimpangan regional yang dilihat dengan menggunakan Indeks Williamson, angka ketimpangannya pada skala moderat namun di tepi atas. Pada tahun 2011, Indeks Williamson sebesar 0,48, sedikit turun menjadi 0,47 di tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa kemajuan pembangunan antarkabupaten/kota di DIY masih terjadi kesenjangan. 

Dengan demikian ciri pertumbuhan ekonomi DIY ternyata mampu berperan menekan penurunan kemiskinan dan angka pengangguran. Bahkan ketika pertumbuhan melambat, secara bersamaan angka pengangguran ikut terdorong meningkat. Namun lain halnya dengan kemiskinan karena meskipun pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan persentase penduduk miskin masih mampu konsisten semakin menurun. Hal ini dimungkinkan terjadi bahwa dampak melambatnya perekonomian tidak langsung dirasakan pada periode yang bersamaan tetapi jeda pada beberapa periode berikutnya. Pertumbuhan ekonomi juga belum banyak berperan mendorong peluang kesempatan kerja secara merata di sektor-sektor ekonomi. Sementara itu terhadap tren pengurangan angka ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh angka Rasio Gini dan juga angka ketimpangan antarwilayah dengan menggunakan Indeks Wiliamson, naik turunnya capaian pertumbuhan ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan pengurangan angka ketimpangan pendapatan dan ketimpangan antarwilayah. Dengan kondisi demikian maka pertumbuhan ekonomi DIY masih perlu ditingkatkan kualitasnya.

 


(Pertumbuhan Ekonomi, Persentase Kemiskinan, dan TPT di DIY, 2011-2015)

Dalam perspektif pengukuran kualitas pertumbuhan ekonomi, selain dengan melihat capaian indikator ekonomi sosial pada bahasan subbab 4.1 tersebut di atas, ukuran kualitas pertumbuhan ekonomi bisa dilihat dari Inklusif Growth Index (IGI). Nilai indeks IGI DIY disajikan selama lima tahun (2011-2015) pada Tabel mencakup besaran penimbang yang digunakan, skor, dan indeks IGI pada setiap sub-dimensi. 

Penyajian 5 tahun ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar perkembangan kualitas pertumbuhan ekonomi yang dicapai setiap tahunnya, sekaligus untuk mengevaluasi kinerja dari masing-masing dimensi. Langkah evaluasi ini penting untuk mengetahui dimensi manakah yang mengalami peningkatan antartahun atau sebaliknya. Pada setiap dimensi, selanjutnya dapat dievaluasi menurut sub-dimensi dan indikator-indikator pembentuknya, sehingga hasil evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. 

Secara umum, kualitas pertumbuhan ekonomi DIY telah memuaskan selama lima tahun periode kajian, dan tingkat kepuasan tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 tingkat kepuasan sebesar 6,20, naik terus menjadi 6,45 pada tahun 2014 meskipun di tahun 2015 sedikit lebih rendah menjadi 6,35. Makna indeks tersebut merujuk pada pendapat Ali dan Zhuong (2007) tentang konsepsi inclusive growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada penciptaan peluang ekonomi dan memastikan diakses oleh semua. Peluang ekonomi terwujudkan dengan meningkatnya pertumbuhan sektor tradeable (pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan). Sementara akses masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi terindikasikan bahwa tidak ada jurang kesenjangan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di masyarakat.

Peningkatan kepuasan tahun 2013 relatif tinggi dibanding tahun lainnya, yakni sebesar 1,34 persen dibanding tahun 2012. Hal ini didukung oleh peningkatan kepuasan 7 (tujuh) sub-dimensi, sedangkan sub-dimensi yang perkembangannya mengalami penurunan adalah kesetaraan gender, pendidikan, dan perlindungan sosial. Sub-dimensi kemiskinan dan ketimpangan pada tahun 2013 juga tumbuh relatif tinggi, yaitu masing-masing 9,32 persen dan 8,47 persen. Sub-dimensi kesetaraan gender, pendidikan dan perlindungan sosial mengalami penurunan kepuasan masing-masing sebesar 0,35 persen, 0,7 persen dan 4,14 persen.

Sementara itu, di tahun 2015 IGI DIY mengalami kontraksi sebesar 1,57 persen. Hal ini lebih diakibatkan oleh pertumbuhan negatif yang terjadi pada 6 (enam) sub-dimensi, yaitu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja produktif, ketimpangan pendapatan, kesetaraan gender, kesehatan, dan perlindungan sosial. Oleh karena penimbang sub-dimensi pertumbuhan ekonomi paling besar, maka perubahan yang terjadi pada sub-dimensi ini juga berpengaruh besar pada perubahan indeks IGI. Selain itu sub-dimensi pendidikan mengalami pertumbuhan yang stagnan (kurang dari satu persen), yaitu sebesar 0,43 persen. Pertumbuhan yang relatif tinggi pada sub-dimensi infrastruktur ekonomi dan pengurangan kemiskinan tidak mampu menahan laju turunnya kualitas kepuasan pertumbuhan ekonomi tahun 2015. Penurunan indeks kepuasan paling parah terjadi pada sub-dimensi perlindungan sosial yaitu indeksnya mengalami kontraksi sebesar 18 persen dibanding tahun 2014. Hal ini ternyata disebabkan oleh menurunnya alokasi jumlah rumah tangga penerima raskin dari 46,12 persen di tahun 2014 menjadi hanya 39,96 persen di tahun 2015, dan ini juga berdampak pada rata-rata jumlah raskin yang diterima per bulan oleh rumah tangga juga menurun.

Meskipun IGI DIY tahun 2015 mengalami kontraksi, namun beberapa sub-dimensi mengalami pertumbuhan mengesankan. Pertumbuhan terbesar terjadi pada sub-dimensi kemiskinan, yaitu 13,3 persen. Sub-dimensi infrastruktur ekonomi juga tumbuh di atas 9 persen. Sub-dimensi air dan sanitasi air juga tumbuh positif meskipun hanya 3,6 persen. Untuk mengetahui penyebab tinggi atau rendahnya capaian kepuasan pada suatu dimensi, perlu dikaji lebih mendalam capaian pada masing-masing sub-dimensi beserta indikator-indikator di dalamnya. Kajian di sini dilakukan pada setiap dimensi dengan berfokus pada perkembangan capaian masing-masing sub-dimensi dan indikator selama periode 2011 sampai dengan 2015.



(Sub-dimensi, Indikator, Nilai Skor, dan Capaian Nilai Pembentuk IGI, 2011-2015)

 

(Sub-dimensi, Indikator, Nilai Skor, dan Capaian Nilai Pembentuk IGI, 2011-2015)

(Indeks IGI Provinsi DIY, 2011-2015) 



A.    KESIMPULAN
1. Kualitas pertumbuhan ekonomi DIY masih perlu ditingkatkan terutama dalam upaya program pengurangan kesenjangan distribusi pendapatan dan juga kesenjangan pendapatan antarkabupaten/kota. 

2. Pertumbuhan ekonomi relatif selaras dengan pengurangan kemiskinan dan pengangguran, kesetaraan gender, kualitas kesehatan, dan kualitas pendidikan, dan kemudahan akses air dan sanitasi. Namun demikian program perlindungan sosial belum menemukan model yang tepat untuk menjangkau sasaran.

3. Pertumbuhan ekonomi DIY memuaskan tetapi belum inklusif. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh belum dibarengi oleh penurunan yang nyata kesenjangan distribusi pendapatan serta belum meratanya distribusi pendapatan antarkabupaten/kota, share pendapatan 60 persen terrendah dari populasi penduduk masih rendah (di bawah 30 persen), belum adanya peningkatan yang signifikan share sektor industri, jasa, dan pertanian, peningkatan share tenaga kerja industri juga belum signifikan, dan share tenaga kerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga tidak dibayar juga belum menunjukkan peningkatan yang nyata.

4. Pertumbuhan inklusif DIY memuaskan namun masih pada level menengah, sehingga berdasarkan hasil kajian BPS RI tahun 2013 capaian D.I. Yogyakarta ini kurang menggembirakan dengan berada pada posisi terbawah kedua, hanya di atas DKI Jakarta di antara provinsi lain se-Pulau Jawa.

5. Tujuan pembangunan ekonomi pada hakekatnya tidak hanya mencapai pertumbuhan yang tinggi tetapi juga bagaimana pertumbuhan yang tinggi tersebut dapat merata pada seluruh wilayah kabupaten/kota di DIY. Pertumbuhan inklusif semua kabupaten/kota memuaskan namun kurang merata karena IGI yang dicapai pada kisaran angka 5,56-6,70 (tahun 2015).


Sumber : 


Kelompok 11 :
1.      Bayu Irawan (21216357)
2.      Ira Murni Agilvi (23216568)
3.      Sahira Almas Tovani (26216766)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar